Poros Informasi – Indonesia semakin mantap meninggalkan ketergantungan pada dolar Amerika Serikat (AS) dalam transaksi internasional. Skema Local Currency Transaction (LCT) atau transaksi menggunakan mata uang lokal menunjukkan perkembangan pesat, dengan nilai transaksi mencapai USD11,7 miliar atau setara dengan Rp190,7 triliun hingga pertengahan tahun 2025.
Dedolarisasi: Rupiah Makin Berjaya di Kancah Internasional

Angka ini melonjak signifikan dibandingkan semester pertama tahun 2024, yang hanya mencatatkan nilai transaksi LCT sebesar USD4,702 miliar. Pertumbuhan ini menandakan keberhasilan strategi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam mendorong penggunaan mata uang lokal untuk transaksi lintas negara.
Nasabah LCT Melonjak, Bukti Efektivitas Program
Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, mengungkapkan bahwa bukan hanya nilai transaksi yang meningkat, tetapi juga jumlah nasabah yang memanfaatkan skema LCT. Rata-rata jumlah nasabah LCT tumbuh sekitar 45 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
"Satuan Tugas Nasional LCT akan terus berupaya memperluas penggunaan mata uang lokal dalam transaksi lintas negara. Tujuannya jelas, memperkuat ketahanan ekonomi nasional," tegas Filianingsih dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (27/7/2025).
Ekspansi LCT: Korea Selatan dan UEA Jadi Mitra Baru
Keberhasilan ini didukung oleh upaya memperluas jangkauan LCT ke berbagai sektor dan wilayah. Salah satunya adalah dengan menambah partisipan Bank Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). Selain itu, kerja sama LCT juga diperluas dengan menggandeng negara mitra baru. Korea Selatan bergabung pada September 2024, disusul Uni Emirat Arab pada Januari 2025.
Pemerintah Mitigasi Risiko Global dengan LCT
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ferry Irawan, menyoroti peran krusial LCT dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama di tengah dinamika global dan domestik yang penuh tantangan.
"Pemerintah terus berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memitigasi dampak kebijakan tarif AS dan geopolitik global. Selain itu, pemerintah juga terus melakukan mitigasi risiko domestik melalui berbagai stimulus untuk menjaga daya beli dan mendorong konsumsi serta investasi," jelas Ferry.






